Di paparkan di twitter oleh @ichwanpersada silahkan menghubungi beliau untuk komunikasi selanjutnya
Tiap ketemu investor baru dan sama sekali belum punya pengalaman terlibat di film, maka saya selalu tanya 2 hal: referensi dan ekspektasi. Kedua hal ini perlu diketahui dari awal agar kita tahu dimana seharusnya berpijak.
Referensi penting agar kita paham selera sang investor dan ekspektasi juga tak kalah penting karena kita bisa mengukur apa yang ingin dicapai dari produksi film yang akan dibuat. Semuanya akan relate ke satu hal: DUIT.
Sang investor pun bercerita bahwa ia ingin bikin drama musikal. Dalam hati saya berkata, “Yess!” Salah satu cita-cita saya bikin drama musikal karena kebayang ribetnya ampun-ampunan dan pasti bakal sangat menantang.
Lantas ia menyebut “The Greatest Showman” sebagai salah satu referensi. Dan dalam hati lagi-lagi saya berteriak kencang, “Yessssss!” Film itu jadi salah satu drama musikal favoritku sepanjang masa.
Pada dasarnya saya orang yang optimis. Jadi saya memandang segala sesuatu terlebih dulu dari sisi baiknya. Bagus dong kalo ada investor lokal mau bikin drama musikal selevel “The Greatest Showman”.
Setelah bicara referensi, lantas kita beralih ke topik selanjutnya: ekspektasi. Selain pencapaian secara artistik, salah satu cara mengukur sukses film ya dari perolehan penonton. Dan sang investor mantap menjawab bahwa target mereka 2 juta penonton. Baiklah.
Selain optimis, saya juga punya sisi realistis tentunya. Dan setelah mendengarkan keinginan dan keyakinan sang investor, waktunya bagi saya untuk merespon, meski mungkin akan terdengar pahit olehnya. Hiks.
Saya bilang seperti ini. Kalau mau pencapaiannya seperti “The Greatest Showman”, effort-nya harus luar biasa gede juga. Kita tiru mentah-mentah saja apa yang paling menarik dari film itu. Yang pertama, tentunya lagu-lagunya yang super keren dan sebagian sing-along banget.
Lantas set-nya pun luar biasa spektakuler dengan tata artistik yang extravagant. Dan jangan lupa yang paling ribet adalah bagaimana menata koreografi puluhan pemain agar tetap menonjol dan saling menutupi dan gak lebay.
Most important thing adalah punya skenario yang mantap. Investasi terbesar dari sebuah produksi film adalah skenario. Kita boleh punya bujet produksi gak gede, tapi mesti berani spend bayar penulis skenario dengan kualitas bagus dong.
Sang investor menyebutkan bahwa ia sudah meng-hire seorang penulis skenario. Ketika namanya disebut, bahkan dipanggil 3 kali, saya gak ngeh. Sopo toh? Saya ngecek di juga gak nemu nama orang yang dimaksud.
Saya mulai dag-dig-dug. Dan makin berasa seeer-nya ketika diminta baca sinopsis yang ditulis oleh si penulis skenario. Subhanallah, masa sih bikin sinopsis 1 halaman dengan perkenalan singkat karakter, jelasin konfliknya apa dan bagaimana resolusi konfliknya kagak bisa?
Buat saya, kalo seseorang mengklaim diri sebagai penulis skenario dan bikin sinopsis 1 halaman kagak bisa ya gimana logikanya mau nulis 80-100 halaman skenario dengan struktur yang rapi? Kita belum ngomongin hal-hal teknis lain lho ya.
Setelah bahas sedikit soal skenario, saya bilang bahwa kalo mau bikin film dengan referensi seperti “The Greatest Showman” ya persiapannya mesti luar biasa. Mungkin latihan koreo dan nyanyinya bisa 3 bulan, dan syutingnya pasti lamaaaaa.
Saya belum pernah bikin film action dan musikal dan di bayangan saya bakal sama ribetnya. Gak bisa buru-buru karena banyak elemen terlibat di depan kamera. Mungkin cuma bisa 1 scene 1 hari tuh. Bayangin kalo skenario punya 120 scene tuh.
Dari situ juga bisa menakar soal biaya. Katakanlah sehari syuting abis minimal cepek lah. Kalo syuting 1 scene 1 hari untuk 120 scene, berarti perlu 120 hari syutingnya. Artinya buat operasional syuting aja bisa 12 M sendiri.
Saya melihat kekhawatiran mulai muncul di wajah investor. Mungkin ia gak terbayang bahwa bikin film drama musikal itu super ribet. Tapi saya harus menjejakkan kaki sang ke investor ke tanah agar ia tak dibegoin orang lain nantinya.
Salah satu “penyakit” orang yang gak pernah bikin film adalah menganggap hampir semua film Indonesia gak ada yang bagus. Saya sih senyum-senyum saja mendengarnya. Rupanya itu karena sang investor baru saja nonton sebuah film keluarga di bioskop dan tak memuaskan hatinya.
Saya ditanya perihal film tersebut dan saya bilang bahwa saya hepi-hepi aja tuh nontonnya. Saya menegaskan ketika saya nonton film di bioskop, saya gak pernah datang dengan keinginan untuk mengkritik. Memang pure untuk menikmati dan terhibur. Mungkin saya tipe penonton receh.
Setelah soal referensi, sekarang kita bicara soal ekspektasi 2 juta penonton yang dahsyat itu. Kebetulan saya menggandeng tim yang bisa memaparkan detil terkait ekspektasi itu. Tim saya bilang kalo mau dapat penonton segitu ya harus reach ke calon penonton potensial 40 juta.
Ngomongin soal target penonton itu kan mesti bicara data. Mesti ngomongin effort yang harus dikeluarkan seberapa besar, cakupan promosi seberapa luas, aktifitas promosi seberapa kuat. Gak bisa njemplak bikin target penonton ala ngayal-ngayal babu.
Ketika tim saya memaparkan semuanya dan berujung pada satu hal tentang berapa rupiah yang harus digelontorkan, wajah sang investor terlihat makin grogi. Ya iya dong, mau dapet 2 juta penonton, tapi pancingannya pake ikan teri, ya mana bisa lah?
Film Indonesia memang lagi bagus-bagusnya, makanya banyak investor mau ikutan main disana. Tapi investor juga mesti dikasih tahu bahwa kalo mau dapat gede, umpannya juga mesti gede. Udah gak jaman pakem “modal sekecil-kecilnya untuk hasil sebesar-besarnya”.
Tugas produser itu selain ngeyakinin investor bahwa duitnya aman, juga mesti ngasih tahu pahit-pahitnya juga. Kalo mereka mau “bakar duit” ya kita bakarin. Tapi kalo mau cari duit, ya kita bikinin kalkulasi yang bener. Supaya mereka gak sekali bikin film trus kapok.
Setelah ngomong pait, kita lihat saja bagaimana sang investor merespon. Apakah masih yakin dengan referensi dan ekspektasinya atau mau ganti cerita yang lebih aman ….hehehehehe.